Baca Juga :
![]() |
Ilustrasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Photo by Cottonbro via pexels.com |
Pergulatan melawan Covid-19 di Tanah Air telah memasuki tahun kedua. Pemerintah terus berupaya untuk memberangus pandemi dengan menaikan dana, menambah fasilitas kesehatan, menambah tenaga medis dan pembatasan aktivitas masyarakat. Kebijakan pemerintah ditindaklanjuti dengan keputusan Presiden untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dilematis Penerapan PPKM
Kendati demikian, pembatasan sosial justru dilanggar masyarakat. Hal ini terlihat dari kerumunan yang terjadi di tempat wisata, pasar dan jalanan kota. Meski demikian, pemerintah terus berupaya memberangus pandemi sebagaimana yang dilakukan Presiden Jokowi pada awal bulan Juli 2021 dengan mengeluarkan keputusan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. ‘Wajah’ PSBB telah menjadi PPKMSikap pemerintah mengeluarkan PPKM bukan tanpa alasan. Setelah terjadinya kelonggaran selama masa new normal, dan memasuki bulan Juli 2021, kasus Covid-19 di Tanah Air meroket dan menyebabkan pihak medis kewalahan dalam menangani pasien yang terpapar. Pemerintah tak ayal mengeluarkan aturan dan mengucurkan dana besar demi ‘perang’ melawan pandemi.
PPKM belum mendapat tempat di hati warga. Hal ini terlihat dari lonjakan kasus Covid-19 Tanah Air. Masyarakat tidak menggubris PPKM. Mereka lebih memilih melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa adanya sense of crisis sebab, bagi mereka, pembatasan ini adalah penghancuran perekonomian masyarakat. Dari sikap masyarkat ini, jelas terlihat bahwa bagi mereka PPKM adalah neo ghetto yang tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat.
Pengertian Ghetto dan Relevansinya Dengan Keadaan Sekarang
Ghetto adalah perkampungan Yahudi di Eropa untuk mengurung dan membatasi ruang gerak Kaum Yahudi. Mereka dibatasi agar tidak bercampur dengan ras Eropa. Ghetto juga merupakan pembatasan sosial bagi kaum Yahudi untuk tidak berinteraksi dengan dunia non Yahudi di Eropa, lantaran anti semitisme yang sedang menguat. (Amstrong, 2000: 36-37)![]() |
Kampung Ghetto di Rumania. Photo via yadvashem.org |
Lantas, dari pengertian ghetto sendiri, kita bisa berasumsi bahwa masyarakat mengganggap PPKM sebagai bentuk ghetto baru atau neo ghetto. Tentu pengertian neo ghetto dalam konteks pandemi cukup berbeda dari pengertian aslinya. Jika pada abad 16-18 ghetto dimengerti sebagai pembatasan ruang gerak kaum Yahudi, maka di masa pandemi saat ini PPKM diartikan sebagai neo ghetto yakni pembatasan ruang gerak dan kegiatan masyarakat secara baru.
Sejumlah masyarakat yang ‘membangkang’ dengan PPKM akan berpikir bahwa pembatasan ini melanggar hak asasi mereka. Namun jika dipikirkan dengan jernih, sejatinya PPKM adalah neo ghetto yang baik dan bermanfaat di tengah pandemi sebab ruang gerak kita dibatasi guna menghindari wabah Covid-19 yang sedang mendera Tanah Air.
Neo Ghetto harus tetap dimaknai secara positif demi kebaikan bersama sehingga kita tidak mudah terpapar Covid 19. Seperti kaum Yahudi pada abad 16-18 di Eropa, yang terpisah dari dunia non Yahudi demi ras dan tradisi agar tetap terjaga, maka kita di masa pandemi harus memaknai neo ghetto secara positif agar kesehatan dan kebaikan bangsa tetap terjaga.
PPKM adalah neo ghetto agar kita tidak terpapar Covid 19. Ia menjadi ruang bagi kita untuk bergerak meskipun dalam pembatasan-pembatasan. Kita tetap berpikir positif bahwa PPKM akan menjaga kita dari serangan pandemi yang bisa kita dapatkan kapan saja dan di mana saja.
Mari kita tetap memperhatikan protokol kesehatan dan mengikuti semua anjuran pemerintah dalam memberantas Covid-19. PPKM bukanlah penjara melainkan tempat kita berlindung dari serangan pandemi. Tetap menggunakan masker, mencuci tangan dan menjauhi kerumunan demi kebaikan bersama.
Penulis : Jondry Siki, CMF (Alumnus Fakultas Filsafat, Unwira. Tinggal di Seminari Hati Maria, Kupang)