puisi berjudul Agama adalah representasi agama yang agung nan luhur, yang dipersembahkan oleh Gus Mus bagi jagat karya sastra Nusantara
Baca Juga :Agama pada dasarnya sebagai sarana untuk mengarahkan diri pada yang Ilahi. Setali tiga uang, E. B. Tylor menandaskan bahwanya agama adalah sebuah kepercayaan pada wujud tertinggi. Agama berasal dari bahasa Sanskerta dari “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi. Jadi agama berarti tidak pergi, tinggal tetap, atau diwariskan turun-temurun. “Gam” juga memiliki arti tuntunan,maksudnya ialah agama menjadi penuntun berlandaskan Kitab Suci. Agama dalam bahasa eropa memiliki pusparagam sebutan seperti halnya religion, religio, religie, dan godsdienst.
Sebagai pemuka agama yang memberikan pengajaran tentang cara mengarahkan diri kepada Tuhan, K.H. Achmad Mustofa Bisri atau Gus Mus membuat sebuah puisi berjudul Agama. Secara gamblang puisi tersebut menekankan makna-makna simbolik tentang agama serta nasihat kepada para pemeluk agama.
“Agama/adalah kereta kencana” Sejak awal Gus Mus sudah memulai puisinya dengan kata-kata simbolik yang agung nan mulia. Agama digambarkannya sebagai sebuah kereta kencana. Secara tersirat Gus Mus mengajak pembaca untuk memandang betapa agung nan indahnya agama bagaikan kereta kencana. Gus Mus semakin memperjelas keagungan dari agama dalam baris berikutnya, “yang disediakan Tuhan/untuk kendaraan kalian/berangkat menuju hadirat-Nya” Gus Mus langsung menerobos pada Yang Maha Tinggi pada hal-hal yang metafisis. Secara tak langsung Gus Mus mengatakan inilah agama, anugerah dan karunia Tuhan untuk umat manusia. Lirik tersebut menggambarkan Gus Mus yang mempromosikan bahwa agama adalah sesuatu yang baik sebab yang menyediakan adalah Yang Maha Baik.
Gus Mus beralih dengan memberikan teguran kepada para pemeluk agama, “jangan terpukau keindahannya saja” Tak hanya memberikan teguran, Gus Mus memandang keindahan agama hingga banyak yang terpukau dan mengaguminya. Keindahan di sini memiliki makna tersirat bahwasanya bukan semata agama yang indah, melainkan pemiliknya, yakni Tuhan. Tuhan dipandang sebagai yang dahsyat dan ditakuti (tremendum) dan indah nan memesona (fascinosum). Dalam bahasa Jawa kedua hal ini sering disebut “wedi asih”.
Sebuah karya sastra lahir mengikuti situasi dan kondisi lingkungannya. Hal itulah yang digambarkan Gus Mus mengenai keadaan agama dan umat beragama di Indonesia, “apalagi sampai/dengan saudara-saudara sendiri bertikai/berebut tempat paling depan” Gus Mus merekam kembali situasi sosial keagamaan yang terjadi di Indonesia dalam wajah puisi. Hal ini senada dengan ungkapan Pardi Suratno, karya sastra merupakan buah dari interpretasi kehidupan yang memiliki latar belakang sebagai inspirasi kelahiran karya sastra (Suratno, 2016). Pada baris tersebut Gus Mus menggambarkan keindahan agama yang acapkali dinodai oleh sikap dan perilaku pemeluknya,yakni dengan cara bertikai mengatasnamakan agama.
Gus Mus kembali menyebut kereta kencana pada baris kesepuluh. Kata kereta kencana diletakkan sendiri tanpa kata lainnya. Ia ingin menanamkan keyakinan kepada pembaca bahwa agama adalah sarana dan wadah yang indah nan mulia.
Sebagai orang yang ahli dalam hal keagamaan, Gus Mus kembali mempromosikan kelebihan dari agama pada baris kesebelas dan kedua belas, “cukup luas untuk semua hamba/yang rindu Tuhan” Baris tersebut secara tak langsung mencerminkan pribadi Gus Mus yang memiliki pengetahuan lebih berkenaan dengan keagamaan.
“Berangkatlah!/Sejak lama/Ia menunggu kalian” Penekanan secara bertahap disampaikan Gus Mus dalam puisinya. Ia menunjukkan otoritasnya sebagai pemuka agama yang mengarahkan umatnya menuju pada keilahian Tuhan. Ajakan semakin kuat disampaikannya yakni dengan menggunakan kalimat perintah, “Berangkatlah!” Tak hanya itu, Gus Mus juga menggunakan satu kata itu pada satu baris sekaligus tanda seru, yang menyatakan seruan lebih keras. Apabila dicermati lebih dalam, baris lainnya dalam puisi tersebut tidak menggunakan tanda baca. Hanya kata “Berangkatlah!” yang menggunakan tanda baca, terlebih tanda seru. Gus Mus memberikan penekanan nilai mengenai tujuan agama ada bagi manusia, yakni untuk membimbing dan memberikan jalan kepada Tuhan.
Puisi karya Gus Mus berjudul Agama ini tak hanya merepresentasikan agama saja, melainkan pula kebudayaan lokal. Gus Mus menggunakan kereta kencana sebagai metafor atas agama. Ia tidak memilih kereta api, mobil, pesawat terbang, kapal, atau bahtera. Padahal apabila diperhatikan lagi, kereta kencana tergolong kecil dibanding kendaraan-kendaraan tersebut. Gus Mus lebih memilih kereta kencana sebab kendaraan ini sangat lekat dengan kebudayaan lokal Indonesia seperti yang digunakan oleh kerajaan, keraton, dan kesultanan yang ada di Indonesia. Hingga kini kereta kencana masih dilestarikan sebagai warisan budaya lokal. Penggunan kereta kencana sebagai metafor ingin mengangkat wujud ketiga dari kebudayaan yang disebut artefak kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009).
Gus Mus menggunakan tipografi rata tengah. Hal ini menunjukkan bahwa puisi berjudul Agama ini patut menjadi pusat perhatian. Dalam merepresentasikan agama, Gus Mus tak sekadar mengagungkan agama. Ia juga memberikan gambaran tentang kondisi agama serta teguran bagi pemeluk agama yang menodai keluhuran agama. Gus Mus juga memberikan tawaran sekaligus ajakan sebagai bentuk penyadaran bahwa agama bersifat universal untuk semua kalangan. Dengan demikian, Gus Mus menggunakan model representasi aktif yang mengacu pada pemberian refleksi atas agama, kemudian memberikan teguran, ajakan, dan penyadaran bagi para pemeluk agama. Hal ini merupakan karakter karya sastra yang baik, yakni ditulis dengan penuh kejujuran, kearifan, dan keluhuran nurani (Suratno, 2016).
Tak hanya itu, puisi ini mampu memberikan penghiburan dan pengharapan, mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia pada jalan sebenarnya, yaitu jalan kebenaran dalam menapaki tugas kehidupan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Remy Sylado bahwasanya karya sastra yang baik harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan kepada pembacanya. Sang Kereta Kencana dalam puisi berjudul Agama adalah representasi agama yang agung nan luhur, yang dipersembahkan oleh Gus Mus bagi jagat karya sastra Nusantara.