Sikap persatuan dalam kebangsaan dan nasionalisme, tentunya harus kita asah dan kita wujudnyatakan, dalam masa pandemi ini.
Baca Juga :Sekitar Desember tahun 2019 yang lalu merupakan awal dimana kegelapan dunia era ini dimulai. Saat itu adalah awal dimana virus yang bernama Corona yang kemudian penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut bernama nCoV-2 (novel Corona Virus-2) dan kemudian WHO memberi nama atas penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut dengan nama COVID-19 (Corona Virus Diases 2019).
Akan tetapi, hal yang patut untuk disayangkan adalah masyarakat Indonesia saat ini sangat ketakutan. Oleh karena rasa takut yang berlebihan tersebut, menganggap bahwa orang yang tertular dan bahkan meninggal oleh karena virus tersebut, merupakan monster ganas yang patut untuk dijauhi dan diasingkan. Sikap pluralisme dan persatuan yang semakin pudar oleh karena kemajuan jaman, tidak semakin kuat oleh datangnya virus ini.
Sebenarnya kita semua patut untuk belajar dari pengalaman masa lampau. Tepatnya di tahun 1911-1916. Pada saat itu, Indonesia pernah dilanda wabah penyakit “pes”. Pada saat itu, kita mengalami penyiksaan yang ganda, pertama dijajah oleh kolonial, kemudian juga penyakit pes. Penyakit pes pada saat itu, yang kemudian kita kenal dengan penyakit sampar, banyak menginveksi warga pribumi. Hal itu karena, penyakit tersebut bersumber dari tikus yang membuat habitat di beras. Oleh karena nasi merupakan konsumsi pokok pribumi, maka banyak menginveksi mereka.
Saat ini, dengan APD dan pengetahuan akan prosedur penanganan pasien yang cukup, hendaknya kita dapat berlaku lebih dari yang dilakukan oleh para dokter pribumi pada masa kolonial. Kita hendaknya dapat berlaku lebih manusiawi terhadap para korban. Sikap persatuan dalam kebangsaan dan nasionalisme, tentunya harus kita asah dan kita wujudnyatakan, dalam masa pandemi ini. Menerima para korban, dengan prosedur yang telah ditentukan, adalah salah satu contoh kongkret dari rasa persatuan kita terhadap seluruh warga Indonesia. Dengan menerima mereka, berarti kita mau merasakan penderitaan mereka dan berempati, sama seperti yang dilakukan pada tahun 1911-1916.
Virus tersebut berawal dari sebuah kota di China, Hubei, yang diduga kuat bersumber utama pada kelelawar yang dijual di pasar Hubei. Virus tersebut sebenarnya telah ditemukan pada Desember 2019, akan tetapi pihak China sengaja untuk menutupi kasus tersebut. Akhirnya, oleh karena kurangnya transparansi dan upaya pengobatan serat pencegahan yang kuat, maka tidak lama penyakit virus tersebut menyebar dengan sangat cepat dan ganas. Mulai menjadi wabah, kemudian endemi, dan akhirnya menjadi pandemi.
Virus ini menjalar di ratusan negara dunia dengan jumlah korban tertular hingga jutaan orang dan korban meninggal sudah ratusan ribu. Tahun yang kelam bagi kita semua, warga dunia. Apalagi, virus ini belum menmukan vaksinnya. Tentunya, virus ini dalam perkembangannya tdak hanya menyebabkan masalah kesehatan fisik, tetapi jika kesehatan ekonomi. Perekonomian dunia saat ini benar-benar dalam kondisi sangat labil. Mulai dari awal Januari hingga saat ini, ekonomi dunia mulai tampak lesu.
Kebijakan physical distancing yang dilakukan di seluuh wilayah dunia membuat bayak pabrik, toko, pasar, dan lain sebagainya mulai tutup, dan banyak yang di PHK, serta kehilangan mata penjahariannya. Tidak ada cara yang lain, selain saling bahu membahu memberantas virus mematikan ini.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Mau tidak mau harus kita akui bersama bahwa pemerintah kita terlambat untuk mengantisipasi serangan dari virus mematikan ini.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Mau tidak mau harus kita akui bersama bahwa pemerintah kita terlambat untuk mengantisipasi serangan dari virus mematikan ini.
Kita yang kala itu sempat menyandang status green zone merasa percaya diri bahwa kita akan selamanya aman dari virus ini. Kita tidak belajar dari pengalaman pahit masa lalu tentang virus HIV/AIDS, yang mewabah di Indonesia. saat itu kita terasa enteng saja bahwa virus itu tidak akan menjangkita masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ternyata kurangnya ketelitian dalam transfusi darah dan hubungan intim, membuat banyak sekali warga yang menjadi korban.
Oleh karena kurang waspadanya pemerintah, hal yang sama terulang kembali saat ini, dengan tentunya oleh virus yang lebih mudah dan cepat menular. Sejak kasus pertama ditemukan hingga saat ini, Indonesia telah memiliki korban 9000-an orang tertular virus tersebut. tentunya, hal tersebut sangat memungkinkan untuk meningkat, dari waktu ke waktu.
Akan tetapi, hal yang patut untuk disayangkan adalah masyarakat Indonesia saat ini sangat ketakutan. Oleh karena rasa takut yang berlebihan tersebut, menganggap bahwa orang yang tertular dan bahkan meninggal oleh karena virus tersebut, merupakan monster ganas yang patut untuk dijauhi dan diasingkan. Sikap pluralisme dan persatuan yang semakin pudar oleh karena kemajuan jaman, tidak semakin kuat oleh datangnya virus ini.
Justru banyak orang Indonesia yang lebih mengutamakan kesehatan dan kepentingan pribadi. Padahal, orang-orang yang terkena virus bahkan meninggal tersebut adalah korban, bukan pelaku kejahatan. Akan tetapi banyak orang yang menganggapnya penjahat. Bagaimana tidak, korban COVID-19 yang telah meniggal tidak diterima oleh warga sekitar makam, yang mana makam tersebut digunakan oleh korban meninggal tersebut. Warga sekitar tersebut bahkan menolak dengan sangat kasar, meneriaki dan melempar batu. Kemanusiaan mereka dan sikap persatuan mereka terhadap sesama warga Indonesia, luntur atau hilang begitu saja. Padahal, korban tersebut telah dimakamkan sesuai dengan prosedur, tetapi mereka tetap menolak.
Sebenarnya kita semua patut untuk belajar dari pengalaman masa lampau. Tepatnya di tahun 1911-1916. Pada saat itu, Indonesia pernah dilanda wabah penyakit “pes”. Pada saat itu, kita mengalami penyiksaan yang ganda, pertama dijajah oleh kolonial, kemudian juga penyakit pes. Penyakit pes pada saat itu, yang kemudian kita kenal dengan penyakit sampar, banyak menginveksi warga pribumi. Hal itu karena, penyakit tersebut bersumber dari tikus yang membuat habitat di beras. Oleh karena nasi merupakan konsumsi pokok pribumi, maka banyak menginveksi mereka.
Para dokter Belanda pada saat itu banyak yang tidak bersedia untuk menangani pasien. Tentunya banyak faktor, tetapi yang paling utama adalah trauma masa lalu, penyakit sampar mewabah di Eropa. Jadi, hingga saat mengalami kesulitanpun para penjajah tidak bersedia membantu orang jajahannya. Akhirnya, para dokter pribumi yang turun tangan untuk menangani para pasien sampar tersebut. Mereka bertekad bulat penuh ketulusan. Hal yang ada dlam benak mereka adalah persatuan dan sikap nasionalisme. Kurangnya APD, tidak menjadi pengahalang bagi dokter pribumi untuk bersatu dalam menangani kasus kesehatan yang ada di negerinya tersebut. Persatuan dan sikap nasionalisme ini akhirnya membuahkan hasil.
Saat ini, dengan APD dan pengetahuan akan prosedur penanganan pasien yang cukup, hendaknya kita dapat berlaku lebih dari yang dilakukan oleh para dokter pribumi pada masa kolonial. Kita hendaknya dapat berlaku lebih manusiawi terhadap para korban. Sikap persatuan dalam kebangsaan dan nasionalisme, tentunya harus kita asah dan kita wujudnyatakan, dalam masa pandemi ini. Menerima para korban, dengan prosedur yang telah ditentukan, adalah salah satu contoh kongkret dari rasa persatuan kita terhadap seluruh warga Indonesia. Dengan menerima mereka, berarti kita mau merasakan penderitaan mereka dan berempati, sama seperti yang dilakukan pada tahun 1911-1916.