UU Cipta Kerja Resmi Diundangkan Menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Layakkah UU tersebut untuk diuji ke MK?
Baca Juga :Presiden Republik Indonesia, Jokowi secara resmi menandatangani Undang-Undang Cipta Kerja pada hari Senin, 2 November 2020, dan dengan demikian aturan yang dalam belakangan ini keberadaannya menimbulkan kontroversi atau pro dan kontra di masyarakat resmi diterapkan atau diberlakukan.
Aturan yang dimaksud juga telah diberikan nomor, menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Terdapat 1.187 halaman yang ada pada Undang-Undang tersebut, yang artinya sudah terjadi banyak perubahan sejak disahkannya dalam rapat paripurna DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Pemerintah pada tanggal 05 Oktober 2020, karena sebelumnya diketahui jumlah halaman dari UU Cipta Kerja yang berubah-ubah yakni mulai dari versi 1028 halaman, 905 halaman,802 halaman, sampai dengan 1035 halaman.
Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, maka secara hukum sah untuk di uji secara formil maupun materil ke Mahkamah Konstitusi karena objeknya permohonannya sudah jelas dan ketentuan itu juga telah diatur dalam pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Pengujian secara formil sendiri artinya MK memiliki kewenangan untuk menilai, apakah pembentukan undang-undang cipta kerja tersebu telah melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Hal tersebut memiliki arti bahwa, Mahkamah Konstitusi akan meneliti dan menilai bagaimana undang-undang itu dibuat, sejak tahap pembahasan, pengesahan, pengundangan dalam lembaran negara dan pemberlakuan. Sehingga, yang dipermasalahkan di sini adalah proses pembuatan undang-undang dan bukan isinya.
Sementara itu untuk pengujian secara materil sendiri adalah wewenang dari Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah isi dari Undang-Undang Cipta Kerja sudah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan peraturan tersebut.
Biasanya yang dimohonkan untuk diuji bisa saja hanya ayat, pasal tertentu atau bagian kecil dari undang-undang saja lantaran hanya bagian itu yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Berkaitan dengan hal tersebut, peran Mahkamah Konstitusi menjadi sangat krusial dan Independensinya pun dipertaruhkan, mengingat jalan terakhir bagi para pihak yang tidak menyetujui akan adanya UU Cipta Kerja ini baik sebagian atau keseluruhan adalah dengan melalui prosedur ini, karena Pemerintah secara tegas menegaskan bahwa tidak akan mengeluarkan Perpu untuk membatalkan Undang-Undang tersebut.
Independensi dari Mahkamah Konsitusi menjadi pertaruhan serta mengandung banyak tanda tanya dari masyarakat karena faktor pemilihan anggota Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang berasal dari 3 (tiga) lembaga Negara yang secara tidak langusng melambangkan mekanisme representasi dari 3 (tiga) cabang utama kekuasaan negara yang berbeda yakni Presiden (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif).
Tentu saja masyarakat mengharapkan bahwa mekanisme tersebut akan mengintervensi keberadaan dari Mahkamah Konstitusi. Selain itu setiap hakim konstitusi harus menampilkan dirinya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi terpengaruh oleh mekanisme pemilihan dari mana dan oleh siapa diangkat.
Selain itu MK harus tetap berada pada jalur yang berlandaskan visi dan misinya, yang mana visi dari MK adalah menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Kemudian salah satu misi MK adalah mewujudkan MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
![]() |
Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Gambar : Dokumentasi pribadi |