masa depan Islam di bumi Minang masih berada dalam taraf aman. Kedepannya kita masih akan lihat para ulama dan cendekiawan muslim dari bumi Minang
Baca Juga :Daftar Isi
Musabaqah Tilawatil Qur'an Nasional ke-28 di provinsi Sumatera Barat telah resmi ditutup pada hari Jumat malam (20/11). Penutupan berlangsung di Masjid Raya Sumatera Barat. Tuan rumah keluar menjadi juara umum dengan mengumpulkan 79 poin. Secara tidak langsung hasil MTQ ini menegaskan bahwa bumi Minang masih menjadi buminya Islam.Minangkabau dari zaman dulu memang terkenal sebagai tanahnya ulama--disamping cendekiawan. Tanpa berlebihan; butuh berlembar-lembar kertas untuk mencatat nama-nama ulama Minangkabau. Sebut saja penggubah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang lebih dikenal dengan buya Hamka, guru ulama Nusantara, syaikh Ahmad Khatib al-Mingkabawi. Semenjak tersebarnya agama Islam di tanah Minang sekitar abad ke 17 yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan, bisa dikatakan Islam menjadi way of life. Hal itu diabadikan dalam deklarasi yang dikenal dengan nama Sumpah Sati Bukik Marapalam. Sumpah yang melahirkan adagium hidup orang Minang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sebuah kesepakatan antara kaum adat dan kaun agama sekaligus sebagai bentuk pe-integrasi-an adat dan agama (Islam).
Memasuki abad dua satu terdapat semacam kekhawatiran bahwa orang Minang telah melepaskan pegangannya, yaitu Adat dan Islam. Pelepasan yang dimaksud adalah pelepasan secara prinsipil. Generasi-generasi penerus Minang dianggap tidak tahu budaya dan tidak agamis lagi. Dan ironinya pandangan-pandangan negatif ini banyak berdatangan dari kalangan masyarakat Minang sendiri, terutama dari kalangan tua. Suara-suara sumbang mengatakan, "hilang Minang, tingga kabau" (Hilang Minangnya, tinggal kerbaunya). Atau dalam lirik-lirik lagu agama dinyatakan, "ndak tau adat jo budayo".
Suara-suara sumbang ini mendapatkan pembenaran atau disadari demikian, ini ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama pada 15 Desember 2018 dilakukan acara pengukuhan kembali Sumpah Sati Bukik Marapalam. Pengukuhan dilakukan karena terjadinya pergeseran perilaku sosial masyarakat Minang, seperti yang dikatakan oleh ketua MUU Sumbar Buya Gusrizal Gazahar.
Kedua, data statistik yang menunjukkan penyimpangan seksual yang terjadi di wilayah Minangkabau. VCT HIV Sumbar pada tahun 2018 mempekirakan terdapat 14.469 pelaku seks sesama jenis, 2.501 waria. Kasus lain adalah sosal pengguna narkoba yang juga marak.
Belum lagi perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku dan tidak tercatat dalam data statistika tapi dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya kelakuan-kelakuan yang sumbang.,..
Minangkabau, Nasionalisme, dan Islam
Beberapa waktu yang lalu publik sempat dibikin heboh oleh pernyataan ketua umum PDIP, ibu Megawati yang mengatakan, "semoga Sumbar lebih pancasilais," disebabkan fenomena kurang diterimanya PDIP di Sumatera Barat. Pernyataan ibu Megawati yang mempersoalkan tentang jiwa rakyat Sumbar terhadap Indonesia. Dikotomi tentang siapa yang lebih pancasilais dan anti pancasila telah turut menghiasi ruang publik dalam bentuk victim war. Namun siapa yang dimaksud dengan pancasilais itu tidak ada kriteria baku yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur. Berdasarkan hal tersebut kita mengarah kepada tataran nasionalisme yang lebih terkonsep. Nasionalisme bisa kita artikan sebagai sebuah bentuk kecintaan terhadap tanah air dengan nilai-nilai asli yang dimiliki oleh Indonesia termasuk di dalamnya penerimaan terhadap Pancasila. Maka dari itu persoalan yang patut diketengahkan adalah bagaimana nasionalisme rakyat Minang dalam artian yang lebih luas.
Dalam era modern Minangkabau turut mewarnai perjalanan Republik Indonesia. Tokoh-tokoh bangsa yang berasal dari Minang memegang peranan-peranan penting dari masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Bisa kita ketengahkan beberapa di antaranya Rohana Kudus sebagai perempuan pertama Nusantara dalam dunia pers, Tan Malaka yang dikenal sebagai Bapak Republik, tentu saja Mohammad Hatta sang bapak proklamator, Agus Salim yang merupakan bagian dari tim perumus Pancasila itu sendiri dalam Piagam Jakarta. Tokoh-tokoh tersebut telah cukup kiranya untuk memjawab pertanyaan tentang nasionalisme orang Minangkabau. Bagi orang Minang nasionalisme dan Islam itu tidak bisa dibentangkan, yang pertama sebagai bentuk dedikasi terhadap Indonesia, dan yang kedua; Islam, adalah pegangan hidup.
Memang keduanya sempat berbenturan. Setidaknya ada dua peristiwa yang melatarbelakangi, yang pertama alasan politis. Pendekatan militeristik yang digunakan oleh Soekarno dalam menumpas gerakan PRRI di Sumatera Barat terang saja telah meninggalkan luka di hati masyarakat Minang. Kedua adalah alasan prinsipil (ini bersifat opini pribadi), adalah berkaitan bersikukuhnya Hamka dalam mempertahankan fatwanya tentang haramnya merayakan natal.
Konfrontasi seperti ini tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa orang Minang tidak nasionalis. Karena sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh Minang telah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada Indonesia. Dan juga sampai saat ini orang-orang Minang dalam hal ini dalam lingkup administrasi diwakili oleh provinsi Sumatera Barat masih setia menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa adanya gejolak yang bersifat sporadis seperti yang terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh dan Papua.
Masa depan Islam di bumi Minang
Postulat-postulat yang ada dalan masyarakat memang telah terjadi distorsi. Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa disangsikan. Dalam bentuk proyeksi umum memang terjadi degradasi nilai-nilai islami, terutama dalam kalangan remaja Minang. Bahkan pemerintah daerah pun menyadari degradasi tersebut, beberapa daerah mencanangkan wacana babaliak ka surau. Tapi fenomena ini tidak bisa dipukul rata, karena terjadinya degradasi seperti itu masih bisa diimbangi dengan pemuda-pemuda yang memegang dan mempertahankan prinsip-prinsip adat Minang dan agama Islam.
Dalam paradigma yang lebih bersifat liberatif bisa juga kita lihat sebagai sebuah perkembangan bukan kemunduran. Terjadinya penyesuaian yang terjadi pada masyarakat Minang masa kini terhadap perkembangan zaman. Artinya cara-cara lama semisal tradisi surau tidak lagi relevan dalam hal ini. Minang bukanlah masyarakat yang tertutup, tetapi sangat terbuka terhadap perubahan, seperti yang tertuang dalam petitihnya adat usang dipabaharui. Di banyak daerah di Sunatera Barat masih bisa kita temukan bahwa upaya-upaya pelestarian adat dan penanaman nilai-nilai islami tetap digalakkan. Di sisi lain penyimpangan-penyimpangan seperti yang kita sebutkan di atas tidak boleh dipandang remeh, harus dihadapi dengan langkah-langkah solutif.
Bukti kongkritnya adalah pemuda-pemudi yang mengharumkan nama Ranah Minang (Sumatera Barat) dalam Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Nasional ke 28. Dengan begitu dapat dikatakan masa depan Islam di bumi Minang masih berada dalam taraf aman. Kedepannya kita masih akan lihat ulama-ulama, cendekiawan-cendekiawan muslim dari bumi Minang. Insya Allah.
Penulis : Daniel Osckardo