Penegasan Indonesia sebagai negara hukum yang secara eksplisit tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, berakibat terhadap berbagai aktivit...
Baca Juga :Penegasan Indonesia sebagai negara hukum yang secara eksplisit tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, berakibat terhadap berbagai aktivitas atau kegiatan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan atas hukum. Sirajuddin dalam Legislative Drafting (2015) menulis, secara garis besar, hukum pada dasarnya memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat, antara lain: pertama, sebagai standar of conduct yakni sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak serta dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain: kedua, sebagai as a tool of social engeneering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup masyarakat; ketiga : as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila; keempat, sebagai as a facility on of human interaction yakni hukum berfungsi tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
![]() |
Aksi protes terhadap Omnibus Law. Via Instagram.com (Sumber : Unkwonn) |
Dalam perkembangannya, untuk memanifestasikan prinsip dan tujuan berbangsa dan bernegara, negara memformulasikan suatu sistem hukum yang digunakan sebagai landasan dalam berpijak, yaitu untuk mengatur dan menetapkan berbagai jenis dan sumber hukum yang dipakai. Peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum tertulis memiliki peranan penting dalam memuluskan berbagai program serta kebijakan oleh pemerintah untuk mencapai apa yang dimaksud dari tujuan negara tersebut. Maka Pemerintah selalu mengupayahkan adanya suatu produk hukum untuk melegetimasi tindakan dari rencananya.
Namun saat ini, publik digemparkan oleh tindakan Permerintah bersama DPR yang baru saja mengesahkan satu produk hukum. Undang-Undang Cipta Kerja yang mengundang berbagai kecurigaan serta kekhawatiran terhadap maksud dan tujuan dari Undang-Undang tersebut. Kekhawatiran masyarakat terbangun atas spekulasi-spekulasi yang ditandai lewat proses pembentukan Undang-undang tesebut yang tidak menggunakan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undang yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Proses pembentukan Undang-undang Cipta Kerja sangat menarik perhatian publik, sebab, yang pertama, Undang-undang Cipta Kerja adalah salah satu dari beberapa Undang-undang yang dalam metode pembentukannya menggunakan konsep yang sangat asing dalam sejarah proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu menggunakan konsep Omnibus Law. Kedua, isi atau materi muatannya dalam beberapa pasal dipandang merugikan kelompok buruh, serta mamatikan demokrasi, memangkas kewenangan daerah dan beberapa isu lainya.
Ketergesahan dalam mengesahkan UU Cipta Keja serta ketidakhadiran Pemerintah ke publik di tengah situasi keresahan masyarakat terhadap Undang-undang tersebut tentu memunculkan akibat sosial, yaitu terjadinya aksi solidaritas besar-besaran di berbagai penjuru negeri oleh mayoritas kalangan Buruh dan Mahasiswa untuk menolak kehadiran Undang-undang tersebut.
Oleh Pemerintah, iklim investasi yang kurang sehat akibat tumpang tindih regulasi di Indonesia, terutama terkait tidak praktisnya soal perijinan kepada investor dan beberapa faktor lainya ialah yang menjadi alasan untuk Pemerintah menggunakan konsep Omnibus Law.
Penggunaan Omnibus Law telah dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system, seperti Amerika dan Inggris. Dalam Arti dan Sejarah Omnibus Law Atau UU Sapu Jagat, Yantina Debora menulis bahwa, konsep hukum omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara Asia Tenggara. Di Vietnam, penjajakan penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO. Dan untuk di Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan apa yang ingin dilakukan di Indonesia. Filipina memiliki Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991.
Namun Indonesia yang pada dasarnya menganut civil law, oleh beberapa ahli dan praktisi salah satunya Maria Farida Indrati dalam Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar, ia menyampaikan keberatannya terhadap pembentukan RUU Omnibus Law ini. “Saya mohon maaf, saya katakan lebih baik tunggu dulu (membuat omnibus law, red). Jangan sampai ini nantinya menjadi permasalahan,” kata Maria saat dimintai pandangannya terkait penyusunan RUU Omnibus Law di ruang Baleg DPR. Menurutnya, gagasan pembentukan omnibus law ini lazim diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law. “Jika omnibus law diterapkan justru malah menimbulkan persoalan baru dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan. Saya khawatir ini malah akan terjadi ketidakpastian hukum dan menyulitkan kita semua,” ujar mantan hakim konstitusi ini. (Hukumonline, 2020).
Secara garis besar, Omnibus Law sebagai suatu konsep untuk merampingkan regulasi, dimana akan berakibat hukum terhadap pertentangan norma (conflict norm), lewat produk Undang-undang yang bias akan norma terhadap isi atau muatannya dalam sauatu Undang-undang tertentu. Artinya, suatu Undang-undang yang dengan Omnibus Law akan mengatur berbagai jenis aspek, misalnya tentang pekerjaan, lingkungan, dan lain-lainnya dipadukan hanya dalam satu Undang-undang. Untuk produk dari konsep tersebut pula, bertentangan dengan Undang-undang pembentukan peraturan perundangan-undangan yang telah mengatur terkait tata urutan peraturan perundangan-undangan (hierarki), dimana seluruh kedudukan Undang-undang yang disahkan oleh Presiden dan DPR sama kedudukannya.
Kini, perdebatan Omnibus Law tidak hanya ada di tataran elit, melainkan masuk hingga ke warung-warung kopi, jalanan dan berbagai tempat. Bukan hanya karena menyangkut konsepnya yang dipakai untuk suatu metode dalam pembentukan undang-undang namun karena produk hukumnya atau hasil dari konsep tersebut membuahkan indikasi buruk tehadap berbagai kelompok dalam masyarakat, seperti yang terjadi kini terhadap Undang-undang Cipta Kerja yang menuai hasil protes di segala penjuru.
Maka sudah sewajibnya seperti yang tertuang dalam Undang-undang pembentukan peraturan perundang-undang agar menerapkan konsep demokrasi, dimana, terakomodirnya aspirasi -- partisipasi publik dalam prosesnya, agar melahirkan hukum yang pro terhadap kepentingan rakyat. Sebab, kebijakan yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif, namun jika kebijakan yang otoriter digunakan, akan melahirkan hukum yang represif.
Penulis : Mitha Randy Madubun
Penulis : Mitha Randy Madubun